Aku melihat ke arah kalender.
Hari ke dua belas di bulan Juni tiba tanpa banyak suara, tapi cukup untuk membuatku duduk lebih lama, menepi sebentar, dan menyimak apa yang sedang berubah di dalam diri.
Banyak orang bilang, Juni adalah milik Pak Sapardi – bulan ketika hujan turun paling pelan, paling tabah, dan paling tahu diri. Bulan yang mengajarkan kita tentang rindu yang tak sempat diucapkan, tentang cinta yang memilih diam. Puisinya menyiratkan bahwa perasaan paling dalam tak selalu butuh suara. Cukup isyarat, cukup hadir.
Tapi bagiku, bulan Juni bukan hanya tentang puisi yang lirih dan sunyi, tetapi juga tentang momen yang datang tanpa sorak, tapi meninggalkan jejak. Tentang aku yang bertambah usia, yang bertambah paham. Tentang langkah – langkah kecil yang perlahan akan menemukan arahnya, dan hati yang meski sempat patah akan mulai belajar untuk menerima bentuk barunya.
Kini, sembilan belas telah menyapa diam-diam melekat di tubuh dan waktu, membawa tanya sekaligus harapan yang belum sepenuhnya bernama.
Usia ini seperti senja yang belum bulat jingganya—masih menggantung di antara terang dan gelap, antara belum dan hampir. Aku belum benar-benar tahu ke mana harus melangkah, tapi ada desir pelan dalam dada yang bilang: terus saja berjalan, meski perlahan, meski tak selalu paham arah.
Sembilan belas bukan tentang tahu segalanya. Ia lebih mirip musim peralihan, di mana langit masih ragu menentukan cuaca, dan aku pun masih belajar menafsirkan tanda-tanda dalam diri sendiri. Kadang langkahku mantap, kadang goyah. Tapi mungkin di situlah keindahannya. Bahwa tumbuh tak pernah lurus, dan menemukan diri bukan tentang tiba, melainkan tentang terus mencari.
Aku belajar mencintai yang retak, bukan untuk merayakan luka, tapi karena di sanalah cahaya sering menyelinap masuk. Aku belajar diam bukan karena tak punya suara, tapi karena diam pun bisa menjadi bentuk paling lembut dari mendengarkan.
Di usia ini, aku sedang belajar menjadi tanah yang siap ditumbuhi meski belum ada benih yang kutahu pasti, meski hujan belum tentu datang esok hari.
Hari ini aku tak membawa pesta, tak ada sorak, tak ada panggung. Tapi ada kelegaan yang hening. Seperti tanah yang baru saja diguyur gerimis—basah, tenang, dan siap menumbuhkan sesuatu.
Selamat untuk langkah-langkah kecil yang tak selalu tampak tapi tetap setia berjalan.
Selamat untuk hati yang tak selalu utuh tapi masih mau percaya.
Selamat untuk diri yang terus mencoba, meski dunia kadang terlalu riuh, dan kamu sendiri tak tahu harus menjadi siapa.
Sembilan belas.
Dua belas Juni.
Dan aku masih belajar menjadi rumah bagi diriku sendiri, dengan sabar yang tenang, dan cinta yang jatuh perlahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar