Senin, 14 Juli 2025

Ayah, Sebelum Aku Mengenalmu, Aku Sudah Kehilanganmu



Aku tumbuh tanpa sapaan yang menuntun langkah,
tanpa peluk yang meredakan gelisah di dada.
Tak ada genggaman saat dunia terasa asing,
hanya sunyi yang menyelimutiku—dingin dan hening.

Aku belajar melangkah dalam senyap,
belajar tabah dari kehilangan yang tak pernah kuminta.
Tak kutemukan bayangmu di hari-hariku,
hanya sisa tanya yang enggan berlalu.
Kau tak sempat menjadi tempatku berpulang,
saat hati rapuh dan dunia menjatuhkanku perlahan.

Dan kini kau telah begitu jauh,
melewati batas yang tak pernah aku bayangkan.
Belum sempat kutahu cara kasihmu mengalir,
belum ada percakapan yang benar-benar hadir.

Namun di antara sepi yang dulu kupeluk sebagai luka,
tumbuh perlahan rasa yang tak lagi menggugat semesta.
Kini yang tersisa hanyalah diam,
dan doa-doa lirih yang kutitipkan dalam keheningan malam.

Meski kisah kita tak sempat utuh terjalin,
aku belajar menerima dengan hati yang pelan-pelan mengerti—
bahwa rindu tak selalu menuntut alasan,
dan cinta tetap bisa hidup meski tak pernah disempurnakan.

Semoga di sana engkau temukan damai,
sebagaimana aku pun mencoba menemukan tenang,
di antara kenangan yang tak pernah menjadi nyata,
namun menetap—dalam hati, selamanya...Ayah.


Sabtu, 12 Juli 2025

Barangkali Kita Butuh Berani

Barangkali, dalam hidup yang paling kita butuhkan adalah keberanian—
bukan untuk menaklukkan dunia,
melainkan untuk membuka mata meski malam penuh luka,
untuk tetap melangkah meski hati masih tersisa gemetar,
untuk percaya, walau harapan tak selalu pulang utuh.

Keberanian,
bukan sekedar suara lantang di tengah keramaian,
tapi diam yang tetap berdiri saat segala terasa goyah.
Tentang luka yang disembuhkan tanpa perlu diumbar,
dan air mata yang jatuh tapi tak menghanyutkan tujuan.

Sebab hidup tak selalu soal bisa,
kadang hanya soal berani mencoba,
berani membuka pagi yang masih muram,
berani melangkah dalam bayang ragu,
berani berharap meski dunia sering kali tak menjanjikan apa-apa.

Dan barangkali, itulah keberanian yang tak pernah kita sadari,
yang membuat kita bangkit meski jatuh berulang kali,
yang membuat kita tetap melangkah,
meski tak ada jaminan di ujung sana.

Ia tak selalu lantang, tak selalu tampak,
tapi diam-diam, ia hadir dalam setiap keputusan kecil—
untuk membuka mata, untuk tetap percaya,
untuk hidup satu hari lagi.

Sebab selama kita masih mencoba,
kita sudah jauh lebih berani
daripada yang kita kira.


— Sidoarjo, 13 Juli 2025 

Sabtu, 05 Juli 2025

If “Love” by Wave to Earth Were a Person, It Would Be Him


"Love", sebuah lagu lembut dari grup indie asal Korea Selatan, Wave to Earth—selalu menjadi pengiring setia di setiap kegiatanku, terutama menjelang tidur. Lagu ini adalah favoritku, mungkin untuk selamanya. Nadanya tenang, melodinya hangat, seolah memeluk hati yang lelah.


Setiap kali musiknya mengalun, benakku dipenuhi gambaran musim panas yang damai, langit biru yang jernih, cahaya matahari yang hangat, dan angin yang berbisik lembut. Namun, lebih dari itu, ada satu wajah yang selalu hadir dalam ingatan saat lagu ini terputar. Mungkin terdengar aneh, tapi aku benar-benar menyimpan seseorang di dalam lagu ini.


Ini pertama kalinya aku merasa begitu lekat pada sebuah lagu karena seseorang. Dia hadir di setiap nada, seolah lagu ini tercipta untuk menyimpan sisi lembutnya. Bagiku, dia sama hangatnya dengan musim panas yang selalu kubayangkan setiap kali lagu ini berputar dan setenang senja yang enggan beranjak. 


Mungkin saja, lagu ini adalah cerminan perasaan yang sedang tumbuh bersamanya...
Karena bersamanya, aku selalu merasa pulang.

Ayah, Sebelum Aku Mengenalmu, Aku Sudah Kehilanganmu

Aku tumbuh tanpa sapaan yang menuntun langkah, tanpa peluk yang meredakan gelisah di dada. Tak ada genggaman saat dunia terasa a...